Ditulis oleh Kika Simonsen
Hans Christian Andersen adalah penulis berkebangsaan Denmark pertama, yang berasal dari strata terendah sosial masyarakat. Dia bergelimang ketenaran sebagai novelis, dramawan, dan penyair, walaupun karya dongengnya lah yang paling mendunia dan berperan sebagai sumbangsih terbesar perkembangan sastra. Keberhasilan Hans Christian Andersen dalam menciptakan kisah-kisah yang begitu mengena, ditengarai merunut pada kehidupan aslinya yang akrab dengan kegetiran. Lalu seberapa kompleks lika-liku kehidupannya itu?
Masa Kecil
Hans Christian Andersen dilahirkan di Kota Odense, pada tanggal 2 April 1805, dari seorang ayah miskin bernama Hans Andersen yang bekerja sebagai pembuat sepatu dan ibu bernama Anne Marie Andersdatter yang hanya berprofesi sebagai seorang buruh cuci pakaian.
Rumah Kelahiran Hans Christian Andersen di Odense
Walaupun terbelit kesengsaraan hidup, sejak kecil kedua orang tua H.C. Andersen, memanjakan putra semata wayangnya dengan menstimulusnya secara berkesinambungan untuk terus mengembangkan daya imajinasinya. Ayahanda Hans Christian Andersen adalah seorang pencinta dan penikmat sastra yang kerap membacakan kisah Seribu Satu Malam dan fabel-fabel karya Jean de la Fontaine. Sang ayah juga acapkali mengajak Andersen menonton pertunjukkan teater. Dalam autobiografinya yang berjudul The True Story of My Life yang diterbitkan pada tahun 1846, Hans Christian Andersen menuturkan, “Ayahku memuaskan semua dahagaku. Seolah-olah seluruh hidupnya hanya tercurah untukku. Setiap bersamaku, ia berkreasi menciptakan gambar-gambar dan membacakan cerita-cerita rakyat. Saat itulah satu-satunya masa, di mana aku melihatnya begitu bahagia dan riang, karena sepanjang waktu dalam kehidupannya, ia tidak pernah benar-benar merasakan kebahagiaan sebagai seorang pengrajin sepatu”.
Silsilah Keluarga Hans Christian Andersen
Selain itu, sang bunda tidak pernah absen mendongengkan cerita untuknya setiap akan meringkuk dalam peraduan. Konon H.C. Andersen sempat melukiskan sosok sang ibu dalam bundelan kisah yang berjudul Hun Duede Ikke. Sayangnya di usia senjanya, sang bunda malah mengukir catatan kelam, ia terjerat dalam kehidupan sebagai seorang pemabuk dan pecandu minuman keras yang pada akhirnya meninggal pada tahun 1833 di sebuah panti jompo.
Hijrah ke Ibu Kota
Pada tahun 1816 ayah H.C Andersen meninggal dunia. Semenjak kepergian ayahnya, Hans Christian Andersen yang belum lama mengenyam pendidikan formal, terpaksa harus menyambung hidup dengan mengambil kerja serabutan, di antaranya ia pernah bekerja di pabrik rokok, magang pada seorang penjahit, dan cukup lama menjadi buruh. Kendati demikian, di relung hati kecilnya terus mendenyutkan cita–cita untuk berkiprah di dunia seni. Di sela-sela waktu senggangnya, H.C. Andersen menyempatkan diri untuk selalu menghafalkan dongeng-dongeng yang pernah ia dengar. Tak jarang, ia mencoba menceritakan dongeng itu kembali sembari melakukan gerakan tarian balet sebagai bentuk improvisasi. Akhirnya pada tahun 1819 Hans Christian Andersen bertekad untuk hijrah dan nekad mencoba peruntungan di Copenhagen karena ingin mewujudkan impiannya menjadi salah satu penari balet di Danish Royal Theatre.
Selama tiga tahun lebih, H.C. Andersen kecil melewati kehidupannya sebagai pemuda melarat yang hanya mampu menetap di daerah paling kumuh di Copenhagen. Dia berusaha keras menawarkan diri untuk menjadi penyanyi, penulis skenario, penari, ataupun aktor ke beragam teater, namun kegagalan demi kegagalan serta penolakan yang terus-menerus ia terima. Namun H.C. Andersen tak patah arang. Impiannya menjadi seniman besar, dijadikan pemecut semangat yang tak mematahkan tulang. Di usia yang masih sangat belia, ia mencoba bertahan dalam struktur kelas masyarakat yang kaku di masa itu.
Jonas Collins
Riwayat Pendidikan
Nasib baik rupanya berpihak pada H.C. Andersen, akhirnya ia bertemu seorang peri penolong yang menjabat sebagai Direktur Royal Danish Theater bernama Jonas Collin, yang mendeteksi secara jeli bakat terpendam yang dimiliki Andersen. Jonas Collin berbelas kasih untuk mengupayakan Hans Christian Andersen memperoleh pendidikan secara formal. Bahkan Jonas Collin berhasil membujuk Raja Frederik VI untuk turut serta mensponsori sekolah H.C. Andersen. Rupanya kepedulian raja padanya, memicu rumor tak sedap bahwa Hans Christian Andersen merupakan anggota tak sah keluarga kerajaan. Hingga kini, tak ada satupun bukti yang dapat membenarkan isu tersebut. Berkat kebaikan sang raja dan Jonas Collin, Hans Christian Andersen berkesempatan mengenyam pendidikan di sebuah sekolah bahasa di Slagelse dan Helsingør hingga tahun 1927.
Kendati demikian H.C. Andersen tidak melewati proses belajar di bangku sekolah secara mulus karena sebelumnya ia tidak pernah belajar cara mengeja maupun cara menulis secara benar dalam bahasa Denmark. Ditambah lagi, H.C. Andersen terus-menerus dikecam dan di-bully oleh teman-temannya yang menganggap dirinya bodoh dan buruk rupa.
Simon Meisling
Di kelasnya, Hans Christian Andersen digolongkan sebagai siswa tertinggal. Bagi H.C. Andersen sendiri, kurun waktu bersekolah adalah masa-masa kegelapan dan paling menyakitkan dalam sejarah hidupnya. Bahkan kepala sekolahnya pun yang bernama Simon Meisling, sangat membenci Hans Christian Andersen. Simon Meisling yang bertemperamen keras, menyebut karakter H.C. Andersen sebagai seorang pemuda yang rapuh, sensitif dan tidak dapat ditenggang.
Museum Hans Christian Andersen di Odense
Jonas Collin yang begitu menyayangi Hans Christian Andersen, mencoba membedah persoalan dengan mendatangkan guru privat ke rumah untuk mengasah bakat Andersen. Pada tahun 1828, Hans Christian Andersen berhasil tercatut menjadi salah satu mahasiswa perguruan tinggi paling ternama di Denmark yakni Universitas Copenhagen.
Museum Hans Christian Andersen di Odense
Perjalanan Karir
Sembari kuliah, Andersen tekun menyelesaikan cerita pendeknyanya yang berjudul Fodreise fra Holmens Kanal Til Ostpynten of Amager dan berhasil diwartakan pada 1828 dan memperoleh apresiasi yang menggembirakan. Cerita pendek ini menghebohkan perupa sastra karena dianggap memecah bidang baru dalam gaya dan konten. Gaya penulisan yang mendobrak aturan dalam tata cara kesusastraan zaman itu, dengan penggunaan idiom-idiom serta kalimat-kalimat dengan konstruksi ala bahasa lisan menjadi ciri khas irama yang ringan untuk dibaca, secara tidak terduga malah disukai banyak orang. Tak berjeda lama, dalam waktu singkat prestasi tersebut disusul oleh ketenaran puisi-puisi H.C. Andersen yang lain salah satunya The Dying Child.
Museum Hans Christian Andersen di Odense
Setelah menuntaskan pendidikannya, Hans Christian Andersen menghabiskan bertahun-tahun waktunya untuk bepergian, menulis puisi, buku, dan naskah drama, yang mengantarkannya pada puncak kepopuleran. Pada tahun 1835, Hans Christian Andersen berhasil melempar novel pertamanya yang berjudul The Improvisatore yang awalnya diterbitkan dalam kuantitas kecil. Sisi menarik seperti kebanyakan novel H.C. Andersen yang lain, The Improvisatore terinspirasi berdasar pada kehidupan pribadinya sendiri. Sabetan pena yang mengambil setting di Italia ini, mengisahkan jerih payah perjuangan seorang bocah miskin menghadapi lingkungan pergaulan masyarakat yang kejam. Ternyata novel ini tidak hanya mendulang kesuksesan di Denmark, tetapi juga di Inggris dan di Jerman. Hingga akhir hayatnya, konon novel The Improvisatore inilah yang paling banyak dibaca orang, dibandingkan dengan novel-novel Andersen lainnya.
Museum Hans Christian Andersen di Odense
Tak berpuas hanya dengan itu, H.C. Andersen mencoba melakukan terobosan paling mutakhir dengan menulis dongeng untuk anak-anak. Langkah ini benar-benar ampuh meroketkan namanya menjadi seorang penulis dongeng anak paling legendaris dalam sejarah yang pernah ada. Mulanya, Hans Christian Andersen tidak terlalu percaya diri dan bangga akan hasil kreativitas yang tak berbatas ruang tersebut. Ia sempat berkonsultasi dengan beberapa teman dekat sekaligus kritikus, sebelum memutuskan untuk benar-benar mempublikasikannya.
Patung Hans Christian Andersen di Taman Kota Odense
Di tahun yang sama dengan peluncuran novel The Improvisatore, Hans Christian Andersen pada akhirnya nekad menyiarkan 3 jilid bundelan dongeng anak-anak pertamanya yang bertajuk Fairy Tales for Children (1835) dalam bentuk buku saku dengan harga yang tidak akan membuat dompet menjadi gersang. Jilid pertama dari Fairy Tales for Children diterbitkan pada Mei 1835 dengan 61 halaman yang berisi The Tinderbox, Little Claus and Big Claus, The Princess and the Pea, dan Little Ida’s Flowers. Sedangkan jilid kedua diterbitkan pada Desember 1835 yang terdiri dari Thumbelina, The Naughty Boy, dan The Traveling Companion. Dan yang terakhir jilid ketiga diterbitkan pada April 1837, berkonten dongeng terkenal The Little Mermaid, Several Things dan The Emperor’s New Clothes.
Museum Hans Christian Andersen di Copenhagen
Menyoal tentang keoriginalitasan, kesekian banyak dongeng dalam Fairy Tales for Children yang benar-benar murni pemikiran intelektual Hans Christian Andersen ialah Little Ida’s Flowers, Thumbelina, The Naughty Boy, The Traveling Companion, Several Things, The Little Mermaid dan The Emperor’s New Clothes. Menurut pengakuan H.C. Andersen, karya sastra bergenre dongeng itu, tidak semua merupakan hasil kreasinya. Sepanjang hayatnya, Hans Christian Andersen menulis 156 cerita. Dari keseluruhan jumlah, ada 12 dongeng yang diilhami oleh cerita rakyat Denmark yang kerap didengarnya semasa kecil. Koleksi baru yang masih berkutat digenre dongeng, menyusul kemudian pada tahun 1843, 1847, serta 1852 dan diberi judul New Fairy Tales yang berkonten The Angel, The Nightingale, The Sweethhearts, The Ugly Duckling and Stories.
Patung Little Mermaid yang menjadi ikon Kota Copenhagen
Gaya penulisan dongeng yang ditingkahi dengan bahasa yang mudah dicerna, jumputan-jumputan katanya yang berasal dari kosakata yang sederhana, penggunaan idiom-idiom, ironi dan humor yang dilihat dari sisi perspektif anak-anak, mengantar seluruh dongeng yang pernah ditulis Hans Christian Andersen, meledak di pasaran tidak hanya di Denmark, namun di seluruh belahan dunia. Hal ini tentu sangat mengejutkan sekaligus menggembirakan hati H.C. Andersen yang sama sekali tidak pernah menyangka, bahwa dongeng-dongengnya akan begitu digemari pembaca segala usia.
Pada akhirnya ia menyadari bahwa dongeng memiliki kekuatan tersendiri yang mampu membawa pesan moral (tanpa harus menggurui) atau cerita yang bisa beradaptasi dalam semua kebudayaan di dunia. Baginya, dongeng merupakan media yang menggabungkan kesenian rakyat dan seni sastra, mengekspresikan keniscayaan yang terkadang getir, namun sekaligus lucu dan menggelikan. Sebagian besar dongeng-dongeng karya H.C. Andersen menunjuk pada keyakinan dan optimisme tentang kebaikan yang akan menjadi juara sebagai pamungkasnya, seperti contohnya The Snow Queen (1844), namun tidak semua dongeng yang ditulisnya berakhir dengan kebahagiaan. Ada pula beberapa judul yang ditulis dengan ending sangat tragis, seperti contohnya The Little Match Girl (1848).
H.C. Andersen sangat lihai dalam mengkolaborasikan kemampuannya bercerita secara alami dengan kekuatan imajinasinya yang menembus ruang universal, sebagai pengembangan cerita yang berakar pada legenda rakyat dan budaya. Ciri khas yang mewarnai seluruh tulisan Hans Christian Andersen adalah identifikasinya sebagai seorang yang memiliki masa lalu penuh kesedihan, terbuang, dan penuh dengan penolakan. Unsur autobiografi yang demikian kuat, memberi percikan-percikan menarik dan menjadi daya tarik tersendiri. Kemiskinan, kesulitan yang bertubi, rasa kesepian yang kerap mendera pada masa muda, mengantarkannya menjadi salah satu orang yang paling disegani dan dikagumi.
Berkeliling Dunia
Selama hampir 30 tahun yakni antara tahun 1831 hingga 1873, H.C. Andersen rupanya menghabiskan waktunya dengan melakukan perjalanan berkeliling dunia. Mengantongi restu penuh dan support dari Raja Denmark, Hans Christian Andersen memulai pengembaraannya berkeliling Eropa seperti Jerman, Prancis, Swedia, Spanyol, Portugal, Italia, hingga Timur Tengah, dengan imbalan balik berupa catatan perjalanan. Perjalanan berkeliling dunia mungkin membuat H.C. Andersen tidak mampu berkata-kata, namun setelah itu membuatnya menjadi seorang pencerita. Bermuara dari pengalamannya menjelajahi Eropa hingga tahun 1833, Hans Christian Andersen menulis guliran ide-ide yang dituangkan ke dalam sebuah buku autobiografi yang diberi judul The Fairy Tale of My Life, yang diterbitkan kali pertama pada tahun 1855.
Selain Benua Eropa, Hans Christian Andersen juga merambah ke benua-benua lain seperti Asia Kecil dan Afrika pada tahun 1840-1857 karena terdorong oleh ambisi mempelajari budaya-budaya lain yang membantunya mengasah pikir untuk lebih produktif. Setumpuk kisah perjalanan itu ia catat dan beberkan dengan menawan dalam sejumlah judul yakni A Poet’s Bazaar atau Bazar Puisi (1842), I Sverrig atau Picture of Sweden (1851), dan I Spanien atau In Spain (1863).
Patung Hans Christian Andersen di samping Copenhagen City Hall
Dalam pengembaraannya, H.C. Andersen bertemu dengan tokoh-tokoh terkenal dan paling berpengaruh di Eropa, di antaranya adalah novelis tersohor dari Inggris bernama Charles Dickens pada tahun 1847, pada kunjungan pertamanya ke Inggris. Dari pertemuan tersebut, H.C. Andersen menyimpulkan bahwa rupanya Dickens yang dikaguminya itu, juga mengenal karya-karyanya. Kedua penulis ini memiliki kemiripan satu sama lain dalam gaya penulisan, yang kerap mengangkat tema kemiskinan dari profil-profil kelas menengah ke bawah yang berjuang melawan tempaan kehidupan.
Charles Dickens
Ketika melawat ke Paris, Hans Christian Andersen juga berkesempatan untuk berjumpa dengan Victor Hugo, Alexandre Dumas, Heinrich Heine dan Balzac, momentum mengesankan ini rupanya mendenyutkan aliran kreativitas tanpa hambatan berupa puisi indah yang berjudul Agnete and the Merman.
Apartemen no 20 di kawasan Nyhavn, Copenhagen ialah kediaman sementara di mana Hans Christian Andersen mengusun ulang cerita rakyat The Tinderbox, Little Claus and Big Claus, dan The Princess and the Pea
Gaya Hidup
Sepanjang hidupnya, Hans Christian Andersen ternyata tak pernah sekalipun memiliki tempat tinggal. Saat berlenggang di titik kejayaannya, Hans Christian Andersen menikmati sebagian besar hidupnya sebagai tamu undangan para hartawan. Sejak kecil hingga akhir hayatnya, ia selalu hidup berpindah-pindah menumpang di rumah-rumah para patron (tokoh masyarakat) kaya-raya yang bermurah hati mau menampungnya. Jika tidak, ia akan berdiam di kamar sewaan dengan perabot minim atau pun hotel.
Apartemen no 67 di kawasan Nyhavn, Copenhagen di mana lokasi ini pernah ditinggali Hans Christian Andersen selama beberapa tahun di masa kejayaannya
Ternyata tidak semua tuan rumah merasa nyaman dengan kunjungan Hans Christian Andersen. Salah satu sosok ternama yang merasa begitu terganggu oleh keberadaan H.C. Andersen di rumahnya adalah Charles Dickens. Ketika Andersen berkunjung ke Inggris kali kedua, Dickens tak hanya sekedar menyambanginya di hotel tempat H.C. Andersen menginap. Bahkan ia mengundang Hans Christian Andersen untuk bermalam di rumahnya selama beberapa hari. Sayangnya kunjungan ini berakhir tidak menyenangkan.
Apartemen no 18 di kawasan Nyhavn, Copenhagen di mana Hans Christian Andersen pernah bermukim selama beberapa bulan
Terbentur oleh kendala bahasa, komunikasi yang terjalin antara Dickens dengan Hans Christian Andersen tidak terbangun baik. Dickens dan istrinya sama sekali tidak memahami bahasa Denmark, sedangkan kemampuan H.C. Andersen dalam berbahasa Inggris jauh dari kata memadai. Bukannya beranjak pamit sesuai dengan waktu yang ditawarkan, Hans Christian Andersen malah memperpanjang masa tinggalnya menjadi 5 minggu. Hal ini membuat Dickens meradang. Empat tahun kemudian, Charles Dickens merilis novel baru yang bertajuk David Copperfield di mana terdapat seorang tokoh antagonis bernama Uriah Heep, sebuah karakter licik yang diilhami oleh sifat-sifat Hans Christian Andersen (berdasar penilaian Dickens).
Kisah Percintaan
Seluruh pelosok dunia mungkin mengenal nama besar Hans Christian Andersen sebagai Bapak Dongeng Dunia yang paling legendaris sepanjang masa. Namun tidak banyak orang yang tahu, bagaimana sejatinya sosok H.C. Andersen. Siapa sangka dalam kehidupan nyata, Hans Christian Andersen justru merasa dirinya adalah sosok buruk rupa yang tidak diinginkan. Ia dikaruniai tubuh kurus-jangkung dengan kedua kelopak mata cekung, serta berhidung besar nan bengkok. Jauh dari kesan menarik! Seperti halnya seekor anak itik buruk rupa, ia kerapkali menjadi bahan bully-an teman sebaya, terutama dianggap berbeda karena perangainya yang feminin dan lemah-lembut.
Di buku autobiografinya, H.C. Andersen membeberkan sebuah peristiwa pahit yang pernah ia alami saat masih bekerja sebagai buruh pabrik. Rekan-rekannya yang notabene sama-sama masih anak-anak, beramai-ramai merobek pakaian yang ia kenakan, hanya untuk memastikan apakah ia benar-benar seorang laki-laki. Terbelenggu oleh rasa putus asa dan rendah diri sebagai pribadi yang tertolak, menginspirasi Hans Christian Andersen mencipta sebuah dongeng The Ugly Duckling. Dongeng ini menuturkan kisah seekor anak itik yang menetas bersama anak-anak ayam. Karena nampak berbeda, ia kemudian dikucilkan oleh saudara-saudaranya.
Akrab dengan dunia anak-anak, tak lantas menjadikan H.C. Andersen menjadi seorang ayah. Ia tak pernah menikah sepanjang hayatnya. Hans Christian Andersen mengaku berkali-kali jatuh hati, namun cintanya tak pernah berbalas. Walaupun ia telah berkelana dan bertemu dengan jutaan manusia, H.C. Andersen tak pernah berhasil menyunting seorang wanita untuk menjadi pendamping hidupnya. Di tengah kepahitan serta kesepian yang berkecamuk itulah, Andersen mencurahkan segenap perasaan dan imajinasinya ke dalam sastra yang mengagumkan.
Riborg Voigt
Hans Christian Andersen jatuh cinta untuk kali pertama pada Riborg Voigt (1806-1883) pada tahun 1830. Riborg Voigt adalah putri satu-satunya seorang pejabat Kerajaan Denmark bernama Faaborg Voigt. H.C. Andersen mengekspresikan degup asmaranya secara melankolik dalam kumpulan puisi yang diberi judul Phantasier og Skisser. H.C. Andersen menggambarkan sosok jelita Riborg Voigt sebagai Two Brown Eyes dan My Mind’s Thoughts.
Kantung kecil yang ditemukan tersemat di dada Hans Christian Andersen saat ia wafat, berisi surat balasan dari Riborg Voigt
Selama masa pendekatan kepada Riborg Voigt, H.C. Andersen menghujaninya dengan berpuluh-puluh surat cinta, puisi-puisi romantis, buket bunga cantik dan potret diri. Sayangnya itu semua sudah terlambat! Jauh sebelum berjumpa dengan Hans Christian Andersen, Riborg Voigt telah bertunangan dengan seorang pemuda lain bernama Bøving dan akhirnya melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya tahun 1831. Hal ini sontak membuat H.C. Andersen jatuh terpuruk. Seperti yang dilansir dalam buku harian yang ia tulis, Hans Christian Andersen berkata, “Tuhan, Engkaulah yang menentukan apa saja yang bisa aku miliki, nasibku berada di tangan-Mu. Beri aku pekerjaan! Kirimkan aku seorang pengantin! Darahku sangat membutuhkan cinta, seperti halnya hatiku.”
Kantung kecil yang ditemukan tersemat di dada Hans Christian Andersen saat ia wafat, berisi surat balasan dari Riborg Voigt
Ketika Riborg Voigt tutup usia, ditemukan sebuah ruangan rahasia di mana ia menyimpan rapi semua surat-surat, puisi-puisi, buket bunga yang mengering dan foto-foto dari Hans Christian Andersen. Yang cukup menarik sekaligus mengejutkan, saat Hans Christian Andersen wafat, di dadanya yang berbulu, tersemat sebuah bungkusan kecil yang dijadikan liontin. Bungkusan itu berisi surat balasan yang ia terima dari Riborg Voigt.
Jenny Lind
10 tahun berselang, tepatnya tahun 1840, Hans Christian Andersen mengenal Jenny Lind, si Burung Bul-bul dari Swedia. Johanna Maria “Jenny” Lind (1820-1887) adalah seorang penyanyi opera kenamaan Swedia yang menyandang gelar Swedish Nightingale karena kemerduan suaranya. Ia dianggap sebagai salah satu penyanyi paling berpengaruh dan paling sukses pada abad ke-19.
Jenny Lind versi The Greatest Showman
Masih segar dalam ingatan film apik berjudul The Greatest Showman yang digawangi aktor Hugh Jackman, sosok Jenny Lind ditampilkan begitu memukau, menyenandungkan lagu Never Enough dengan suaranya yang fenomenal, bahkan menjadi plot unggulan dalam film ini.
Hans Christian Andersen menyimpan ketertarikan kepada Jenny Lind selama beberapa tahun. Mereka telah menghabiskan waktu bersama di Copenhagen dan Weimar sebagai sepasang sahabat karib. Memendam cinta bagi Hans Christian Andersen, seperti memendam bara dalam sekam. Tampak samar, namun semakin lama, semakin membuatnya hangus terbakar. Namun nampaknya Jenny Lind enggan melaju pada hubungan yang lebih jauh.
Tidak pernah ada ketulusan cinta semurni sebagaimana Hans Christian Andersen mencintai Jenny Lind. Ia begitu mencintai diva bertalenta menakjubkan itu, di tiap-tiap ruas kesadarannya. Di tahun 1843 Hans Christian Anderson berusaha menyikapi realita yang menyayat hatinya dengan merilis dongeng The Nightingale atau Nattergalen sebagai bentuk penghargaan dan kekagumannya kepada Jenny Lind yang tidak membalas cintanya. Seperti yang dikutip pada buku autobiografinya The True Story of My Life, H.C. Andersen berkata, “melalui Jenny Lind, untuk pertama kalinya aku menjadi paham sepenuhnya akan kekudusan seni. Melalui dia, aku belajar untuk berdedikasi dan mengesampingkan diri sendiri dalam melakukan pelayanan seni yang agung. Tidak ada satu pun buku, tidak ada satu pun laki-laki atau wanita yang memberi pengaruh sedemikian luar biasa kepadaku sebagai seorang pujangga, selain Jenny Lind.”
Jenny Lind
Kepopuleran dongeng The Nightingale ini, ternyata malah melambungkan nama Jenny Lind, jauh sebelum ia menjelma menjadi superstar internasional di Eropa dan Amerika Serikat. Berkat The Nightingale, publik menjulukinya si Burung Bul-bul dari Swedia atau Swedish Nightingale.
Jenny Lind
Pada tahun 1850, Jenny Lind bertandang ke Amerika atas undangan P. T. Barnum. P. T. Barnum menyelenggarakan 93 konser berskala besar untuk mengangkat pamor Jenny Lind selama kurun waktu lebih dari 1 tahun dan mendulang kesuksesan yang gemilang. Antusiasme pasar makin menggeliat, Jenny Lind menjadi sorotan publik. Demam Lind Mania melanda di seluruh Amerika. Jenny Lind dan P.T. Barnum meraup ladang rejeki yang fantastis hingga $350.000-$500.000. Tidak ada bukti sahih bahwa terjadi hubungan percintaan antara Jenny Lind dengan P.T. Barnum seperti yang diuraikan dalam film The Greatest Showman. Fakta mewartakan Jenny Lind menikah di tahun 1852 dengan Otto Goldschmidt, yang notabene adalah komposernya sendiri. Setelah menikah, Lind hijrah ke Inggris dan dikaruniai dua orang putri secantik dirinya.
Patung Hans Christian Andersen di Taman Kastil Rosenborg, Copenhagen
Kendati menyandang predikat mulia sebagai penulis yang dipuja-puja banyak orang, tak lantas membuat Hans Christian Andersen bersih dari rumor miring. Suara-suara sumbang itu memberitakan bahwa H.C. Andersen adalah seorang biseksual. Ahli biografi Jackie Wullschlager dan Alison Prince berspekulasi bahwa seumur hidupnya, H.C. Andersen berjuang menekan naluri homoseksualitasnya dengan bersembunyi dalam persona konvensional. Desas-desus menyiulkan nama Harald Scharff sebagai pemuda yang diduga merupakan kekasih sesama jenis H.C. Andersen.
Harald Scharff
Harald Scharff adalah bintang balet utama Royal Danish Theatre yang melejit pada pertengahan abad ke-19. Berkat ketampanan fisik yang disempurnakan oleh skill yang mumpuni dalam dunia pertunjukan, mengantar Harald Scharff menjadi seorang primadona yang dielu-elukan. Penampilannya di Festival Bunga Bournonville di Genzano dan Napoli, telah mengesankan banyak pihak dan menuai banyak pujian.
Harald Scharff
Pada tahun 1857 di Paris, Hans Christian Andersen berkenalan dengan Harald Scharff. Tiga tahun kemudian, keduanya bertemu kembali secara tidak sengaja di Bavaria pada bulan Juli 1860. Lalu mereka memutuskan untuk menikmati satu minggu bersama di Munich.
Harald Scharff
Kedekatan Hans Christian Andersen dengan Harald Scharff makin terajut erat dan pada awal 1862, keduanya terlibat dalam jalinan kasih yang membawa H.C. Andersen pada kebahagiaan dan kepuasaan memuncak, di mana disebut-sebut sebagai periode erotis Hans Christian Andersen.
H.C. Andersen tidak mampu membendung gejolak gairahnya yang meletup-letup. Ia kehilangan kendali untuk mengontrol perilakunya secara lebih arif dengan tidak menunjukkan perasaan terlarangnya itu secara terang-terangan. Tentu saja hal ini mengecewakan banyak pihak dan menimbulkan perasaan antipati. Publik menganggap hubungan ini adalah sesuatu yang tidak pantas dan meresahkan. Setelah melewati berbagai gejala yang menyedihkan, akhirnya percintaan terlarang ini tidak dapat dipertahankan lagi dan melebur. Di tahun 1874 Scharff menikah dengan Elvida Møller.
Pada bulan Maret 1861 Hans Christian Andersen menyiarkan dongeng terbarunya bertitel The Snowman, sebuah dongeng yang mengisahkan seorang manusia salju yang diam-diam tertambat hatinya pada sebuah kompor. Manusia salju yang naif ini, kepincut dan tak berhenti merindu pada sebuah kompor yang jelas-jelas akan membuatnya meleleh. Banyak ahli biografi meyakini sebuah dugaan bahwa The Snowman merupakan gambaran kepedihan dan kekecewaan H.C. Andersen kepada Harald Scharff. Karya sastra The Snowman ini, menyiratkan sebuah perasaan cinta yang salah arah, cinta yang membahayakan dan beresiko tinggi berakhir dengan kehancuran.
Akhir Kehidupan
Pada musim semi tahun 1872, Hans Christian Andersen terjatuh dari tempat tidur dan mengalami cedera serius yang tidak pernah menjadikannya pulih seperti sediakala. Beberapa tahun setelahnya, H.C. Andersen di diagnosa menderita kanker hati. Setelah 2 tahun lamanya bertarung melawan kanker ganas ini, Hans Christian Andersen wafat di pada tanggal 4 Agustus 1875 di Copenhagen. Kematian H.C. Andersen menjadi pukulan hebat bagi Denmark dan seluruh penggemarnya yang begitu mengidolakannya. Jutaan air mata serta doa berderai mengantarkannya hingga liang lahat. H.C. Andersen dikebumikan di pemakaman umum Assistens Kirkegård, Copenhagen.
Makam Hans Christian Andersen di Assistens Kirkegård, Copenhagen
Warisan Hans Christian Andersen
Hans Christian Andersen merupakan pujangga yang tulisannya paling banyak dibaca di dunia. Puisi-puisi dan novel-novelnya, menjadi literatur sastra populer yang dicontoh sepanjang waktu dalam spektrum platform yang luas. Kontribusinya yang abadi berupa dongeng-dongeng, berisi konten pesan-pesan moral bersifat universal, yang layak dijadikan suri tauladan. Maka tidaklah mengherankan bila ke-156 karyanya itu, kemudian diterjemahkan tak kurang ke dalam 147 bahasa di dunia. Hans Christian Andersen mungkin sudah wafat lama, namun buah karyanya tetap bergema di hati setiap insan dan masih kerap diperdengarkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Hans Christian Andersen memang layak menyandang gelar Bapak Dongeng Dunia.